Sejarah Kami
Sejarah Paroki Boro tidak bisa dilepaskan dari Kisah Misi yang dijalanii Romo JB Prennthaler SJ. Romo JB Prennthaler seorang Imam Misionaris Jesuit berasal dari Austria yang membangun Gereja Boro. Beliau lahir di Tyrol Austria pada 18 April 1885 sebagai anak kedua dari 6 bersaudara dalam keluarga petani di lereng pegununan Aplen. Pada tahun 1904 beliau masuk Serikat Yesus dan berkarya di Provinsi Perancis yang karyanya di Syria (Suriah) hingga Afrika. Namun karena ketertarikan beliau pada sebuah artikel mengenai Jawa, akhirnya atas seijin pimpinan, beliau pindah ke Provinsi Belanda dan berkarya di Jawa pada tahun 1920 dan ditugaskan di Mendut pada tahun 1921.
Pada waktu itu Wilayah Medut meliputi Stasi Kalibawang atau yang lebih dikenal Stasi Plasa. Wilayah Boro, Promasan, dan Nanggulan (saat ini) termasuk dalam stasi ini. Stasi Plasa ini berkembang semenjak terjadinya pembaptisan massal oleh Romo Van Lith pada tahu 1904.
Saat mengunjungi umat di Menoreh, Romo Prenn dibantu para pamomong umat (semacam ketua lingkungan) dan kerena lokasi geografis Menoreh, Romo Pren melakukannya dengan berjalan kaki membuatnya disebut Pedibus Apostolorum, Sang Rasul Pejalan Kaki. Misi Romo Prenn di perbukitan Menoreh tidak melulu mengenai iman, tapi juga kesejahteraan, berusaha membantu masyarakat yang hidup di daerah yang tandus dan kala itu menghadapi wabah penyakit kolera yang cukup mengkhawatirkan. Berbasis pendidikan perawat yang beliau miliki, Romo Prenn banyak membantu para warga yang terkena penyakit dengan obat campuran barat dan ramuan tradisional sehingga beliau juga dikenal sebagai dukun bule Disisi lain banyak masyarakat terjerat hutang oleh reternir demi hanya untuk hidup layak. Dari permaslaahn yang ditemua sat mengunjungi umat, Romo Prenn memilki banyak impian untuk bisa membantu warga tanpa pandang bulu latar belakang mereka.
Umat Stasi Kalibawang/Plasa mulai meningkat jumlahnya, dan Romo Prenn mulai sering mengunjungi wilayah Menoreh hingga pada tahun 1927, di Jurang Depok, Romo Prenn mempersembahkan perayaan Ekaristi pertama bersama 5 umat Katolik pertama di wilayah Boro; Wongsorejo, Joyodurya, Cokrorejo, Sokromo, Ronotani. Peristiwa inilah yang dijadikan hari jadi Paroki Boro. Boro dianggap lokasi strategis untuk membangun pusat misi yang diidamkan Romo Prenn, dengan dasar Iman perlu ditopang Kesejahteraan mencakup Kesehatan, Pendidikan dan Ekonomi, yang dikemudian hari berkembang dengan berdirinya pusat Kesehatan yang di dirikan Suster OSF (RS ST Yusuf) pada tahun 1930, pertenunan dan Pabrik Sabun pada tahun 1933. Pada awal tahun 1927, Romo Prenn mulai mengusahakan adanya sekolahan (dibawah yayasan Kanisius) dan panti asuhan dengan meminjam lokasi di rumah umat. Sekolah rakyat dibawah naungan yayasan kanisius kemudian pada tahun 1956 diambil alih oleh Pangudi Luhur. Panti asuhan pada awalnya merupakan panti asuhan campur, kemudian di tahun 1932 panti asuhan putri dikelola Suster OSF dan 1938 Panti Putra dikelola oleh Bruder FIC.
Memasuki 25 tahun pembaptisan massal di Sendangsono, Romo Prenn menginisiasi pembangunan Gua Maria Sendangsono dan memesan langsung Patung Maria Lourdes dari Lourdes Perancis. Patung ini dibawa dengan kereta api dari Batavia turun di Sentolo dan di naikkan gerobak hingga Slanden sebelum diangkut dengan dipikul hingga Sendangsono. Pada saat itu juga Romo Prenn menghadirkan 31 lonceng Angelus dalam rentang waktu 1929 hingga 1931. Lonceng lonceng ini kemudian ditempatkan di rumah para pamomong umat mulai dari Kerug (wilayah borobudur Magelang, Paroki Promasan) hingga Wijilan (Paroki Nanggulan). Para pamomong umat ini bertugas membunyikan lonceng pada saat doa angelus, jam 6 pagi, 12 dan 6 sore, yang kemudian membuatnya disebut Lonceng angelus dan para pamomog umat ini adalah para angelus. Lonceng angelus ini akan berbunyi bersahut sahutan di pegunungan Menoreh saat doa Malaikat Tuhan (Angelus; Angelus-Klokjes Voor De Java-Missie, 1928).
Pada tahun 1930, Gereja Boro mulai dibangun dan diresmikan pada 31 Agustus 1931 oleh Romo Jos Van Baal SJ dengan mengambil nama pelindung St Theresia Lisieux (Theresia dari kanak kanak Yesus). Romo JB Prennthaler SJ dan Romo FX Satiman SJ (Romo SJ pribumi Jawa pertama) menjadi gembala awal Gereja Boro setelah sebelumnnya mengemban di Gereja Mendut. Paroki Boro meliputi wilayah Kalibawang, Samigaluh, Nanggulan dan Girimulyo, dan sedikit wilayah Borobudur. Pada tahun 1936 Gereja Nanggulan di resmikan dan terpisah dari Boro. Di tahun ini juga Romo Prenn pindah tugas ke Rawaseneng digantikan Romo C. Teppema SJ (yang sudah berkarya di Boro sejak tahun 1934), dan Romo Satiman bertugas di Naggulan digantikan Romo R. Yosowiharjo SJ. Perkembangan umat yang cukup besar memunculkan keinginan pemnbanngunan gereja di Plasa sebagai pusat stasi Kalibawang. Namun karena lokasi yang tidak memungkinkan, akhirnya dipilihlah lokasi Promasan sebagai hasil pencarian Romo De Quay Joyoseputra dan Romo Yosowiharjo. Gereja Promasan diberkati 18 Desember 1940.
Pada tahun 1942 Romo Prenn kembali berkarya di Boro hingga tutup usia pada 28 April 1946 (61 tahun). Kepindahan kembali Romo Prenn ke Boro selain karena beliau sangat ingin kembali bersama umat awal beliau seperti halnya jargon beliau “Kowe mitraku”, juga karena alasan masuknya tentara Jepang ke Yogyakarta. Semua misionaris eropa (Belanda) menjadi twanan Jepang, Romo Prenn sebagai seorang Austria (yang merupakan sekutu Jepang pada saat itu) mendapat perlakuan istimewa dan tidak menjadi tawanan, meskipun demikian Boro bisa dibilang menjadi kota tawanan karena banyak suster dan bruder dan romo yang ditawan. Romo Prenn dimakamkam di tengah umatnya di Boro seperti yang beliau inginkan. Makam Romo Prenn terus menjadi tempat ziarah bagi umat dan kini di komplek makam romo Pren juga terdapat Taman Doa Bunda Maria Pelindung Keluarga.
Romo Prenn meninggal tepat Minggu Paskah I sebelum mepersembahkan misa pagi, setelah melakukan safari Paskah sendirian, karena para Imam yang bertugas di Boro sekitarnya (kebanyakan berkebangsaan belanda) masih ditawan oleh pemerintah Indonesia. Meskipun meninggal tanggal 28 April, namun beliau baru dimakamkam tanggal 2 Mei, sesuai permintaan umat untuk bisa melihat terakhir kali Romo mereka. Pemberkatan jenazah Romo Prenn dilaksanakan pada Kamis 2 April 1946 pukul 3 siang oleh Romo C Martawerdaya SJ didampingi Romo Sandjaja Pr dan Fr A Sunaryo. Dalam prosesi pemberkatan ini dibacaan wasiat Romo Prenn yang telah di tulis pada November 1945 dimana salah satu bagiannya berbunyi, “Jangan takut akan pencobaan, sebab Yesus sendiri yang akan membanttu! Lebih baik mati daripada berpindah keyakinan!”
Hasil misi Romo Prenn di wilayah Kalibawang membuahkan panenan yang cukup banyak, dimulai dari Romo Ambrosisu Adikarjono sebagai Romo pertama putra Boro, hingga kahirnya ada 99 Imam, 200 an Suster dan puluhan bruder dipetik dari tanah Boro.
Kini wilayah paroki Boro meliputi sebagain besar Kapanewon Samigaluh, Separuh Kapanewon Kalibawang dan ada satu bagian lingkungnan dari wilayah Kapanewon Girimulyo. Paroki Boro terbentuk dari 56 lingkungan yang terbagi dalam 12 wilayah denagn 20 Kapel lingkungan dan wilayah.